Chating
MALAM ITU
Malam itu Rene Descartes mendatangiku. Aku terkejut dan berteriak padanya, “Kau telah mati!” Ia tertawa dan berkata, “Cogito ergo sum (saya berpikir maka saya ada)” Aku mendengus seraya menenggak Topi Miring yang tinggal setengah botol itu. Sambil menggaruk-garuk rambut yang acak-acakan, aku mengoceh tentang diriku yang di-PHK dan kini hanya menjadi seorang pengangguran.
Tiba-tiba saja Arthur Schopenhaur muncul dan berkata padaku, “Hidup adalah penderitaan.” Lalu aku pun bertanya padanya, “Kalau hidup itu penderitaan, jadi apa yang harus aku lakukan dengan segala derita yang aku alami ini?”
Belum sempat Schopenhaur membuka mulut, tiba-tiba saja Immanuel Kant datang dan berteriak padaku, “Sapere Aude! (beranilah berpikir sendiri!)” Aku pun tertawa terbahak-bahak sambil menenggak minumanku sampai habis. Kemudian aku pun berteriak, “Aku berpikir maka aku ada. Aku ada, aku menderita. Karena aku menderita maka aku berani berpikir sendiri.” Aku tertawa, berteriak, tertawa, dan berteriak lagi hingga seseorang datang dan mengguyurku dengan seember air.
Aku pun tersadar. Ternyata ketiga filsuf besar itu telah meninggalkanku di sebuah rumah susun sangat sederhana dengan tiga orang anak yang selalu saja menangis kelaparan. Sedang istriku selalu saja marah-marah dan menuntut minta cerai.
Jakarta, 21 September 2003
*Dimuat di Antologi Puisi Dian Sastro for President #2 reloaded terbitan ON/OFF Yogyakarta
KUPU- KUPU SITRUN DALAM SALJU*
Kupu-kupu sitrun di udara bebas sering diliputi salju
Mereka akan kejang seperti kaca, lalu tidur musim dingin beku
Pada bulan Maret mereka akan bangun dari mimpi kelabu
Seolah-olah mengalami hidup baru
Mereka bergelimpangan di salju
Menelurkan telur-telur kupu
Dan menjelang Juni lahirlah kupu-kupu baru
Begitu pula dengan aku
Berdiri di samping batang pohon eik berlabur kapur baru
Memandang seorang nona muda bermantel bulu
Berharap ia berkenan menjadi temanku
Sehingga duniaku tak lagi yang dulu
Sementara itu burung-burung mees mencari makan di antara batang kayu
Yang telah dikorek burung-burung caladi belang hanya sepintas lalu
Aku tak ingin menjadi burung mees di antara batang kayu
Aku tak pula ingin seperti caladi belang sepintas lalu
Aku hanya ingin menjadi kupu sitrun dalam salju
Yang kau temukan dalam musim dingin beku
Lalu kau bawa pulang bersama putaran waktu
Jakarta, 8 September 2003
*Dimuat di Antologi Bungamatahari terbitan Avatar Pers
9 KADO CINTA
: Mega Everistianawati* dan sajakku
1
cintaku padamu adalah seperti cinta seorang bocah Abdurrahman Faiz yang berkata pada ibunda Helvy Tiana Rosa, “Bunda, aku mencintai Bunda seperti aku mencintai surga.”
maka biarlah bila ada luka di wajahmu yang goresannya tersamar dan kasat mata, akan kuseka luka itu dengan tetes embun dari surga. walau kau bilang kau telah menyekanya dengan tetes embun dari duka.
maka biarlah bila ada luka di wajahmu, akan kubasuh luka itu dengan air dari telaga. walau kau bilang kau telah membasuhnya dengan air dari nestapa.
sayang, maka biarlah bila ada luka di wajahmu, akan kurawat luka itu dengan segala cinta. walau kau bilang itu bukanlah luka. itu hanyalah goresan yang timbul karena hampa.
2
cintaku padamu adalah seperti cinta seekor kupu-kupu yang bergelayutan di penghujung malam Tuhan yang basah embun itu.
maka biarlah bila kau ingin menjelma menjadi seekor kupu-kupu kuning yang cantik. yang selalu saja tersenyum pada bunga-bunga yang menebarkan wanginya. tapi pada sepertiga malam itu kutemukan kau termangu hening. ada bunga mekar dalam pikirmu yang kemudian rontok didera hujan.
maka pada malam-malam berikutnya, aku tak lagi menemukanmu terbang berkendara awan. kau lebih suka angin malam membelai sayapmu yang tipis itu. ketika penghujan tiba, mengikis segala rasa, aku memaki Tuhan, "mengapa Kau ambil dia, wahai kekasih langitku yang kekuatan-Mu menggenggam erat jiwaku dan jiwa dia. aku hilang arah, sedang gerhana yang bersembunyi di peraduan kasih-Mu belum jua kutemukan!"
sahabat, kau adalah kupu-kupu yang bergelayutan di penghujung malam Tuhan yang basah embun itu. ketika rambutku tak menentu usai melebur dengan-Nya, tiba-tiba saja kau memarahiku. padahal kala itu aku baru saja selesai berpacaran dengan Tuhan di atas telaga tempat ikan mas memadu kasih dengan bayang rembulan yang bayang keperakannya menerpa telaga. kau tahu? bisik lembut-Nya membakar nyala dalam kelam kamarku.
sahabat, maka kumohon jangan pernah lagi marah padaku. aku berjanji tak akan pernah lagi mendera kau dengan kataku. atau, biarkan saja aku di sini. terapung-apung sampai mati.
3
cintaku padamu adalah seperti cinta seorang Dewi Pelindung Cinta yang selalu saja gelisah bila ada ikatan cinta yang hampir putus.
maka ketika ikatan itu putus kau serapahi malaikat-malaikat yang pernah hadir pada hari pertunangan itu. kau perintahkan angin untuk membatalkan gaun pernikahan yang bahkan belum disulam oleh awan. kau sampaikan salam duka pada peri-peri yang tengah menyirami melati untuk kelak diambil kuncupnya dijadikan ronce. kau kabarkan pada dewa dewi di langit untuk menyimpan kado pelangi untukmu. karena ikatan itu putus sudah.
maka, itu asamu pupus. hatimu hancur menjelma karang-karang pantai yang terus dihantam ombak pasang. yang terasa perih setiap kali dijilat asinnya air laut. ingin kau bersembunyi dalam bumi menjelma wortel, tapi daun wortel terlalu lemah. ia selalu saja menjerit setiap kali ada pahlawan tak dikenal yang tertembak mati tersungkur ke tanah.
maka ingin kau menjelma jadi kunang, tapi cahaya kunang selalu kalah terang dengan lampu-lampu kota. ingin kau sekokoh piramid. ingin kau segarang dunia dan batu-batu. tapi yang kini terasa olehmu hanyalah sesak dalam dada. seperti ditindih batu besar berulang-ulang. itu luka, pedih, perih, mengapa selalu saja kau yang punya.
maka biarlah aku yang membasuh lukamu itu. menggambar cinta pada langit bahagiamu. memberi kecupan pada daun wortel gundah gulanamu. membaui pada suci tubuhmu. melukis pada gerak elok lambaian tanganmu. menghitung sayang pada setiap helai rambutmu. ini tanganku biar menjadi pengganti sayap patahmu. karena kau dan aku adalah satu.
4
cintaku padamu adalah seperti cinta seorang nakhkoda pada lautan yang selalu saja ingin bisa merakit ombak sebagai perahu.
maka kupinta kau menceritakan padaku apakah kapal yang kau tumpangi t'lah kehilangan seorang nakhoda. aku ingin kita ciptakan cerita perahu bernahkoda. kau yang jadi nakhodanya, aku yang jadi penumpangnya. bersama kita bernyayi tentang satu ingin. tetapi kau tak ingin menjelma nakhoda yang tak bisa merakit ombak sebagai perahu, padahal gumintang pun enggan singgah di biduknya.
maka kau biarkan angin menjelmamu jadi camar. lalu kau memintaku untuk memberi ruang pada waktu tuk mengikis lapuk kayu, setelah tugasnya tertunai barulah aku s'bagai embun bisa menyejukkan rinainya. maka aku titahkan pada ketenangan untuk menemanimu hingga kau kembali padaku.
maka aku tunggu kau wahai Putri sang Hidup. semoga buritan sudi mengikis jelaga suram dibilik asa mu itu. sayang, andai aku angin kan kubawa kau pergi berkendara awan hingga hilang segala gundah gulanamu itu hingga menyatu kau dan aku hingga lenyap terkikis malam semua jelaga di bilik itu. sayang, aku tak pernah bilang bahwa asamu terkikis di atas serumpun badai, karena kuyakin sekilas angin mampu menyemerbakkan matahari.
5
cintaku padamu adalah seperti cinta mereka yang terkapar dalam perjalanan panjang negeri ini: yang tak lagi bisa melihat sebab nestapa senantiasa menghitam-arangkan hidup mereka.
maka kusampaikan salam pada malam yang menyelimuti gembel-gembel emperan toko yang terseok di lorong-lorong ketakutan akan bayangan masa depannya: tanpa gairah, tanpa kata, hanya bunyi perut-perut busung, dan kembang kempis dada-dada kurus.
maka kusampaikan salam pada Sihar Ramses Simatupang yang berkata padaku, “yang kugeleparkan malam itu dan mengelepak ke jendela rumahmu, adalah anak-anakku.”
“ya, mereka anakmu. mereka juga adalah anak-anakku.”
sesungguhnya mereka adalah anak-anak negeri ini, tetapi mengapa peradaban negeri ini selalu saja menggilas mereka? melemparkan mereka ke pucuk-pucuk emperan dan dahan-dahan kolong jembatan?!
maka kuakui mereka sebagai anak-anakku sebagaimana Sihar yang juga mengakui mereka sebagai anak-anaknya, sebab negeri ini seolah tak mau mengakui mereka! :kusampaikan salam pada anak-anakku yang kerap kali menggelinjang karena disetubuhi angin malam.
6
cintaku padamu adalah seperti cintamu wahai perempuan yang menampar cat di atas kanvas.
maka kuseru kau, wahai perempuan yang menampar cat di atas kanvas. yang tak lagi mencipta mawar putih dalam goresan-goresannya. bahkan menyulapnya menjadi mawar merah. mawar merah, katamu, adalah wujud marahmu.
maka kuseru kau, wahai perempuan yang menampar cat di atas kanvas dengan kemarahan. kemarahan yang mampu merobohkan pohon-pohon hutan jati Jepara. kemarahan yang mampu menyisir permadani padang-padang sabana. kemarahan yang membentuk buritan di awan-awan atas sana. lalu menambatkan angker di haluan gumpalannya. serta menghentikan laju dalam sadarnya.
maka kemarahanmu wahai perempuan penampar cat, menghasilkan gegana di langit-langit semesta, memekakkan mereka yang tak lagi bisa mengerti kata, membisukan lidah yang bungkam bicara. marahmu wahai perempuan pelukisku, meledak menghantam karang-karang dunia, memanaskan batu-batu di padang-padang sahara, membutakan mata yang gelap hatinya, melatahkan penguasa yang hendak mencari muka, menghitamkan wajah dengan pakaian kebesarannya, menghancurkan mereka yang tak lebih dari hewan melata, mematikan mereka yang mementingkan golongannya, melumpuhkan kaki yang berdiri di atas penderitaan sesamanya.
wahai perempuanku yang menampar cat dengan jemari-jemari indahnya, kemarikan dadamu. biar kutampar cat di atas ranum dua bukitmu.
7
cintaku padamu adalah seperti cinta seorang penyair gila yang merindukan bulan.
maka biarlah kucipta sebait syair bulan. dan kupersembahkan bagi bening hatimu. kau tahu? malam ini mendung, tapi bulan pantulkan cahyanya. hingga pijar bintang tersamar di udara. sinar bulan yang menerpa telaga memantulkan sisik-sisik keemasan. lou han terpojok di sudut sana.
maka syair tentang bulan adalah gejolak hasrat dua pemudi yang dipisahkan jarak antara Jakarta-Hongkong. dan kesunyian terpecah di angkasa. hancur dilumat gairah membara. menjadi kepingan yang segera menjelma menjadi sebait syair bulan.
8
cintaku padamu adalah seperti cinta sinar dan bayangan yang pernah tercetak di garis batas.
maka pernah suatu ketika bayang tercetak di garis batas menjelma garis-garis wajah seorang lelaki. garis-garis wajah itu membentuk wajah Adam dan dengannya menebar pesona. menabur benih cinta dengan kata-kata, sehingga seorang Hawa terpesona. ditanamnya bunga-bunga di garis batas. namun sang Adam malah memetik bunga-bunga di garis khatulistiwa.
maka sejak saat itu bunga-bunga tiada bermekaran. garis-garis wajah seorang lelaki yang tercetak di garis batas, kini menjelma jadi bayang.
9
cintaku padamu adalah seperti cinta seorang perempuan tua di pagi bisu yang merangkul kabut pada sepi bukit.
maka tertatihlah perempuan tua itu dalam nanar fajar yang tak kunjung tiba. bertanya, apakah Mega masih di balik cakrawala. perempuan tua di pagi bisu yang telinganya pekak dihujam kabut telah diterkam rindu selama duabelas tahun. menunggu seorang anak perempuannya yang memeras keringat di negeri orang. kapankah akan segera pulang?
*Selama 12 tahun di Hongkong, selain memperdalam Chinese Painting, Mega Everistianawati juga aktif berorganisasi di Forum Lingkar Pena Hongkong, Indonesian Migrant Worker Union Theatre, dan Asia Migrant’s Theatre Company. Sebagai penulis lepas di media Indonesia yang terbit di Hongkong ; BI, SI, dan Intermezo, Puisi-puisi Mega banyak beredar di jaringan maya dan kerap kali menyuarakan kehidupan buruh migran.
(Jakarta, 29 September 2004. Selamat Ultah kakak. Pulanglah! Kami menunggumu…. With love, Din Rien. http://rinifardhiah.blogspot.com)
|